Hal yang Harus Anda Waspai Pada Masa Pandemi Ini, "Cave Syndrome"

Jakarta Pandemi COVID-19 masih jauh dari kata selesai. Namun, beberapa laporan dan survei yang berbeda telah menunjukkan kemungkinan besar masyarakat akan terkena cave disorder atau sindrom gua, jika pandemi berakhir.

Apa yang dimaksud dengan cave disorder? Sejumlah ahli menyebutkan, seperti dikutip IFLScience, sindrom ini merupakan istilah non-medis yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan untuk keluar setelah lebih dari satu tahun hidup dalam jarak sosial.

Berdasarkan studi di jurnal American Psychological Organization yang terbit Maret 2021, 49 persen orang yang disurvei melaporkan merasa tidak nyaman untuk menyesuaikan diri dengan interaksi langsung setelah pandemi berakhir. Sedangkan 46 persen responden mengatakan tidak merasa nyaman untuk kembali menjalani kehidupan seperti sebelum pandemi menyerang.

Makalah yang ditulis Profesor Steven Taylor, psikiater di Universitas British Columbia Kanada, itu juga memprediksi kemungkinan munculnya kecemasan setelah COVID-19. Dia berspekulasi bahwa pandemi akan memunculkan 'hikikomori'.

Hikikomori (berasal dari kata Jepang, terdiri dari hiki "menjauh" dan komori "berada di dalam") merupakan fenomena seperti agorafobia di mana orang hampir tidak meninggalkan rumah mereka dan mempraktikkan isolasi sosial yang ekstrem.

"COVID-19 kemungkinan akan meningkatkan prevalensi hikikomori, karena orang-orang yang khawatir akan kesehatan mundur dari dunia luar yang terkontaminasi virus corona ke dalam keamanan apartemen atau rumah mereka," tulis Profesor Taylor.

Ia menjelaskan, kemajuan teknologi juga berperan membuat masyarakat semakin menarik diri dari interaksi sosial. Misal, orang-orang yang memilih menonton movie di rumah daripada pergi ke bioskop, berbelanja online daripada pergi ke toko, atau menggunakan layanan pesan antar makanan daripada pergi ke restoran.

Profesor Taylor juga menambahkan kemungkinan angka penderita PTSD (Post-traumatic stress disorder) atau gangguan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, ata menyedihkan dapat meningkat seperti saat wabah SARS menyerang pada 2002-2004. Lewat penelitian 4 tahun yang dilakukannya, ditemukan dari 70 persen orang yang selamat dari wabah SARS, 44 persen dari mereka mengalami gejala PTSD.

Dengan banyak orang yang sakit atau kehilangan orang yang dicintai karena COVID-19, gejala yang sama mungkin bisa timbul.

Sejumlah penelitian juga menunjukkan kesehatan mental masyarakat yang menurun selama tahun pertama pandemi COVID-19. Tak hanya khawatir dengan virusnya sendiri, timbul juga kekhawatiran pada pekerjaan, melebarnya kesenjangan sosial ekonomi, dan penurunan akses ke fasilitas kesehatan, yang semuanya berdampak pada kesehatan mental masyarakat.

Jika pandemi COVID-19 membuat kamu merasa cemas, lelah, atau takut, kamu dapat mencoba beberapa hal sederhana untuk membantu mengatasi dengan pola hidup sehat: Konsumsi makanan bergizi, berolahraga secara teratur, dan istirahat yang cukup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peringatan 89 Tahun Aksi Monarki Absolut di Thailand, Demo yang di Ikuti Ratusan Orang di Bangkok

Manfaat Dari Air Kelapa Murni dan Cara Mengkonsuminya Dengan Benar

Beberapa Masalah Kesehatan yang Rentan Dialami Oleh Seorang Wanita Sehabis Melahirkan